Skip to main content

Sobat KH mungkin sudah tidak asing lagi mendengar istilah resesi yang akhir-akhir ini tengah menjadi perbincangan di masyarakat. Yap, resesi merupakan salah satu bentuk dari gejolak ekonomi yang sebenarnya belakangan ini telah kita rasakan akibat pandemi Covid-19.

Dimana harga pangan dan kebutuhan lainnya mengalami peningkatan, sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat dan tidak diimbangi dengan tekanan inflasi yang tinggi di berbagai negara. Hal inilah yang kemudian menimbulkan resesi ekonomi.

Lalu, apa sebenarnya pengertian dari resesi? Resesi merupakan suatu kondisi ketika pertumbuhan ekonomi suatu negara mengalami penurunan selama dua kuartal atau lebih secara berturut-berturut.

Selain meningkatnya harga pangan dan kebutuhan lainnya, resesi juga ditunjukkan dengan jumlah pengangguran yang terus bertambah, terjadi penurunan ritel, suku bunga, hingga inflasi yang terus menurun. Selain itu, daya beli masyarakat juga menjadi melemah akibat kesulitan finansial.

Bukan hanya dialami oleh negara-negara berkembang, negara maju seperti Amerika Serikat (AS) bahkan telah mengalami resesi pada kuartal pertama dan kedua di tahun 2022. Dimana pada kuartal pertama, pertumbuhan ekonomi AS tercatat minus 1,6% dan pada kuartal kedua tercatat minus 0,9%. Selain itu, AS juga tercatat telah mengalami penurunan valuasi perusahaan pada bursa saham hingga 80% sejak awal tahun 2022.

Menanggapi isu tersebut, Bendahara Asosiasi Modal Ventura Seluruh Indonesia (Amvesindo), Edward Ismawan Chamdani mengatakan, resesi yang terjadi di AS akan berdampak pada aspek perekonomian Indonesia terutama dari sisi makro. Selain itu, pendanaan terhadap startup juga diperkirakan akan menurun. Hal ini terlihat dari munculnya peristiwa pemangkasan karyawan di perusahaan startup Indonesia.

Belakangan, ramai gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menghantam perusahaan startup Indonesia, dimana jika dilihat dari jumlah PHK yang dilakukan, tertinggi pada saat pandemi Covid-19 yaitu pada Maret-Juni 2020 dan kembali meningkat lagi pada Mei dan Juni 2022.

Peristiwa gelombang PHK ini dilakukan oleh para perusahaan startup untuk terus bertahan di tengah perekonomian maupun investasi yang memiliki siklus naik turun akibat resesi global. Dimana, pada siklus naik turun ini dapat terjadi fenomena menarik yaitu bubble and burst.

Apa itu Bubble and Burst?

Bubble burst atau pecahnya gelembung perusahaan belakangan seperti hantu yang menakutkan di dunia startup atau perusahaan rintisan. Bubble burst merupakan sebuah fenomena pertumbuhan ekonomi, dimana nilai pasar naik dengan sangat cepat, namun diikuti juga oleh penurunan nilai yang cepat atau kontraksi.

Fenomena bubble sendiri ditandai dengan kenaikan harga aset secara drastis disebabkan perilaku pasar yang tidak rasional, cenderung terlalu optimistis dan bersifat spekulatif. Selama fenomena bubble terjadi, harga aset diperdagangkan dengan harga yang relatif lebih ‘mahal’ (overvalued) daripada nilai wajarnya.

Karena perilaku yang bersifat spekulatif inilah, di kemudian hari memungkinkan terjadinya bubble burst (gelembung pecah) yang ditandai dengan turunnya harga secara drastis dalam waktu yang sangat singkat. Menurut salah seorang ekonom AS, Hyman P. Minsky, fenomena bubble burst terjadi dalam beberapa tahap yaitu:

Displacement

Pada tahap ini terjadi adanya paradigma baru dimana investor tertarik dengan inovasi baru yang diyakini akan ramai di masa depan (seperti internet pada tahun 1990-an dan metaverse pada saat sekarang ini).

Boom

Pada tahap ini terlihat kenaikan harga yang cukup drastis setelah terjadinya pergeseran (displacement) karena banyak menarik perhatian pasar. Pada tahap ini pula aset perusahaan akan mencuri perhatian pelaku pasar dan investor.

Euphoria

Setelah terjadi kenaikan harga yang cukup drastis, muncul euphoria dimana para investor mulai kurang kehati-hatiannya dalam melakukan investasi. Hal ini terlihat munculnya angel investor yang berani dan siap melakukan investasi dengan uang yang cukup besar tanpa mengetahui kepastian kapan perusahaan yang diinvestasikan dapat mengalami profit.

Namun, tidak sedikit pula para investor yang pada tahap ini mencoba mengambil momen untuk mendapatkan capital gain dari meningkatnya sebuah nilai investasi.

Profit-taking

Setelah terjadi euphoria karena meningkatnya harga, masuklah ke tahap profit-taking. Disini para investor melakukan penjualan aset investasinya untuk mengambil keuntungan. Pada investor yang cerdas akan menangkap sinyal apabila gelembung hampir pecah.

Panic

Ketika gelembung sudah pecah, maka terbentuk tahap panik. Harga aset yang tadinya sudah overvalued akan menukik tajam. Para investor harus berhadapan dengan jatuhnya nilai kepemilikan aset. Mereka akan segera berlomba mencairkan aset dengan harga berapapun sebelum terjadi penurunan aset yang lebih tajam.

Apa Penyebab Terjadinya Bubble and Burst?

Salah satu peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda mengatakan, salah satu sumber masalah dari bubble burst startup di Indonesia adalah terkait pendanaan. Dimana para perusahaan startup di Indonesia masih butuh pendanaan untuk bisa beroperasional.

Nailul menjelaskan, ketika perusahaan startup gagal mendapatkan pendanaan, biasanya mereka akan kelimpungan hingga tidak bisa beroperasi secara normal. Oleh karena itu, biasanya perusahaan startup melakukan layoff kepada karyawannya untuk menghemat budget.

Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa modal utama dari perusahaan startup di Indonesia yang masih bakar uang, sehingga menjadikan mereka ketergantungan dengan pendanaan dari venture capital atau sumber pendanaan lainnya.

Sedangkan, pendanaan tersebut kini sulit untuk layanan yang sudah melewati fase pertumbuhan seperti e-commerce, pembayaran digital, travel dan edukasi karena digantikan dengan arah baru startup yang mengusung kecerdasan buatan, big data analytic, internet of things, maupun metaverse.

Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan untuk Menghadapi Bubble Burst?

Setelah memahami apa yang dimaksud dengan bubble burst dan penyebabnya, Sobat KH sekarang mungkin bertanya-tanya, langkah apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan startup untuk menghadapi fenomena bubble burst tersebut.

Dikutip dari pernyataan Founding Partner AC Venture, Pandu Patria, para pemilik perusahaan startup kini harus lebih berhati-hati atas pendanaan yang diberikan oleh investor. Meski terlihat menggiurkan, investor, menurutnya, kini cenderung mencari startup yang bisa menjadi solusi permasalahan yang ada pada masyarakat dari hulu ke hilir.

Dalam menghadapi bubble burst ini, Pandu pun memberikan tiga tips yang bisa dilakukan oleh pemilik perusahaan startup, yakni:

  • Melihat Profit yang Dihasilkan

Para pemilik perusahaan startup harus melihat apakah bisnis mereka mampu menghasilkan profit atau tidak. Hal terpenting adalah, perusahaan harus memikirkan dengan matang apakah produk market fit-nya sudah pas atau belum. Sehingga, harus bisa belajar beradaptasi dengan sangat cepat untuk melihat peluang profit dari bisnis yang dijalani.

  • Membaca Sisi Sentimen Investor

Kedua, para pemilik perusahaan startup juga harus bisa membaca dari sisi sentimen investor bahwa mereka tidak hanya cari perusahaan yang tumbuh (growth) saham mereka juga pasti mencari keuntungan. Oleh karena itu, perusahaan harus memikirkan keuntungan yang diperoleh serta unit ekonomi dari suatu bisnis.

  • Jangan Terus Bergantung Pada Pendanaan Investor

Seperti yang sudah dijelaskan, meski terlihat menggiurkan, namun sebaiknya para pemilik perusahaan startup tidak terus menggantungkan diri pada pendanaan dari investor. Dimana, pemilik startup bisa saja menggunakan uang yang ada untuk terus diputar dan diinvestasikan ulang untuk pertumbuhan perusahaan mereka.

“Selain itu Founder & CEO Kontrak Hukum Rieke Caroline, S.H., M.Kn. juga mengatakan kalau salah satu cara startup menghadapi bubble burst adalah dengan cara meningkatkan value dari startup itu sendiri, yaitu diawali dengan cara pemenuhan legalitas mulai dari Hak Kekayaan Intelektual, Kontrak/Perjanjian, Pendirian Badan Usaha, Perizinan, dan Tax Compliance. Evaluasi berkelanjutan juga wajib dilakukan menurut Rieke Caroline, SH, MKn agar startup bisa terus melakukan analisa dan membangun rencana jangka panjang untuk mengembangkan bisnis agar dapat meningkatkan pendapatan dan juga value.”

Itulah penjelasan mengenai resesi dan bubble burst serta hal-hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan startup untuk menghadapinya. Semoga penjelasan di atas dapat menambah pemahaman Sobat KH mengenai dunia startup dan isu yang kini sedang terjadi, ya!

Kontak KH

Nah, bagi Sobat KH yang saat ini tengah menjalani bisnis startup namun masih memiliki kendala dalam mengambil keputusan tentang apa dan bagaimana proses atau langkah yang harus dilakukan untuk menghadapi dunia bisnis, salah satunya bubble burst, bisa segera hubungi Kontrak Hukum.

Untuk kebutuhan bisnis startup lainnya seperti legalitas, akunting, dan pajak, Sobat KH juga dapat menikmati layanan legalitas dan bisnis Kontrak Hukum. Kontrak Hukum menyediakan paket layanan terkomplit untuk startup hanya dengan biaya mulai dari Rp3 jutaan saja. Untuk informasi lebih lanjut, segera kunjungi laman https://kontrakhukum.com/semua-layanan/.

Mariska

Resident legal marketer and blog writer, passionate about helping SME to grow and contribute to the greater economy.