Skip to main content

Belum lama ini media sosial Twitter dan Instagram kembali diramaikan oleh polemik salah satu seniman digital yang bergerak dalam bidang Wedha’s Pop Art Potrait (WPAP), Ahmad Nusyirwan dengan 75 Gallery dan pemiliknya, Fendy. Konflik bermula ketika Irwan menemukan bahwa karya seni digital miliknya ternyata dilukis ulang dan dijual dalam pameran online 75 Gallery.

Lukisan tersebut dijual hingga belasan juta namun Irwan sebagai pemilik karya justru tidak memperoleh apapun. Ia pun memberikan teguran kepada 75 Gallery melalui story dari akun instagram pribadi miliknya dan memberikan bukti bahwa karya tersebut telah dilindungi hak cipta/copyright.

Teguran Irwan terhadap 75 Gallery sayangnya dipandang sebelah mata oleh pemilik galeri, Fendy. Dari tangkapan layar hasil percakapan keduanya, Fendy berpendapat bahwa lukisan tersebut bukanlah bentuk plagiat karena tidak sama persis 100% dan karya dengan tema seperti itu banyak ditemukan serta dijual dipasaran. Nyatanya setelah ditelusuri oleh Irwan, pelukis karya digital miliknya yaitu Aprillisyifa mengaku bahwa ia memang memperoleh referensi gambar melalui pinterest dan melukis ulang gambar tersebut di kanvas. Hal ini tentu menjadi bukti bahwa telah terjadi plagiat oleh Aprillisyifa.

Polemik mengenai plagiarisme dalam dunia seni sebenarnya bukan pertama kalinya terjadi. Seniman sebagai pencipta seringkali mengalami kerugian dan tidak memperoleh perlindungan hukum ketika mengalami plagiat terutama ketika konflik terjadi dalam dunia digital. Lalu, sebenarnya bagaimana aturan mengenai hak cipta dalam seni dan bagaimana perlindungan hukum terhadap para seniman di era digital? Kontrak Hukum akan menjawabnya dibawah ini.

 

Tentang Hak Cipta

Adanya perkembangan teknologi yang serba digital saat ini tidak dapat dipungkiri menjadi masalah baru salah satunya dalam perlindungan hak cipta bagi seniman yang karyanya berbentuk digital dan telah diunggah di internet. Pemerintah sendiri sebenarnya telah mengakomodir perlindungan secara hukum bagi para pemilik hak cipta yang ciptaannya berbentuk digital dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Dalam prinsipnya, UU Hak Cipta menganut asas yang disebut deklaratif dimana seseorang yang mewujudkan ciptaannya dalam bentuk nyata dan diumumkan terlebih dahulu akan memperoleh hak atas ciptaannya tersebut. Hak cipta sebagai hak eksklusif melekat kepada diri penciptanya sehingga penggunaan atas ciptaan seseorang harus dilakukan dengan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Hak cipta juga terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.

Untuk melindungi hak moral penciptanya, Pasal 6 UU Hak Cipta menyebutkan bahwa pencipta dapat memiliki informasi elektronik atas hak cipta. Informasi elektronik hak cipta yang dimaksud meliputi informasi tentang:

  1. Suatu Ciptaan, yang muncul danmelekat secara elektronik dalam hubungan dengan kegiatan pengumumanciptaan;
  2. Nama pencipta, aliasnya ataunama samarannya;
  3. Pencipta sebagai Pemegang Hak Cipta;
  4. Masa dan kondisi penggunaan Ciptaan;
  5. Nomor;
  6. Kode informasi.

Informasi milik pencipta tersebut dilarang dengan tegas untuk dihilangkan, diubah, maupun dirusak Pencipta atau pemegang hak cipta juga memiliki hak ekonomi untuk melakukan penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya, penerjemahan ciptaan, pengadaptasian pengaransemenan atau pentransformasian ciptaan, pendistribusian ciptaan atau salinannya, pertunjukan ciptaan, pengumuman ciptaan, komunikasi  ciptaan, dan penyewaan ciptaan. Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta.

Dalam kasus Irwan, pelukis yang menjual lukisannya di 75 Gallery telah melakukan penggandaan ciptaan milik Irwan dari bentuk digital menjadi bentuk lukisan di kanvas. Jika hal ini dilakukan tanpa izin maka Aprillisyifa sebagai pelukis dapat dituntut secara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 113 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta, yaitu melakukan penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

Selain itu, berdasarkan Pasal 55 UU Hak Cipta, setiap orang yang mengetahui telah terjadi pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait melalui sistem elektronik untuk penggunaan secara komersial juga dapat melaporkan kepada menteri melalui Dirjen Kekayaan Intelektual. Laporan tersebut dapat dilakukan melalui laman https://pengaduan.dgip.go.id/. DJKI kemudian akan memverifikasi laporan. Dalam hal ditemukan bukti yang cukup berdasarkan hasil verifikasi laporan atas permintaan pelapor menteri merekomendasikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang telekomunikasi dan informatika untuk menutup sebagian atau seluruh konten yang melanggar hak cipta dalam sistem elektronik atau menjadikan layanan sistem elektronik tidak dapat diakses.

Baca juga:

Kontak KH

Nah Sobat KH meskipun hak cipta otomatis diperoleh ketika karya telah berbentuk nyata, pemilik hak cipta terutama seniman digital sebaiknya melakukan pencatatan atas karya seni yang dibuat agar karya yang dimiliki lebih terlindungi. Dengan mencatatkan hak cipta yang Sobat KH miliki, maka gugatan yang mungkin timbul atas sengketa hak cipta dapat dihindari.

Kontrak Hukum juga dapat membantu Sobat KH melakukan pencatatan atas hak cipta karya seni milik Sobat KH. Sobat KH tidak perlu khawatir menggunakan jasa pengurusan hak cipta di Kontrak Hukum karena Kontrak Hukum sudah terpercaya dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Kontrak Hukum juga menjamin data serta informasi Sobat KH aman serta terlindungi.  Sobat KH juga dapat berkonsultasi untuk masalah hukum lainnya dengan menghubungi Kontrak Hukum di link Tanya KH.

Mariska

Resident legal marketer and blog writer, passionate about helping SME to grow and contribute to the greater economy.