Skip to main content

Tahukah Sobat KH berdasarkan survei Digital Civility Index (DCI) 2020 dari Microsoft, Indonesia baru saja mendapatkan predikat sebagai negara yang memiliki netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara? Survei ini menunjukan bahwa ternyata tingkat hoax dan penipuan, ujaran kebencian, serta diskriminasi oleh netizen Indonesia di dunia maya memiliki angka yang tinggi.

Pada kenyataannya sejak dunia digital semakin berkembang, netizen Indonesia memang seringkali terlibat dalam banyak kasus pelanggaran di dunia Internet, dari mulai menyebarkan hoax, menuliskan ujaran kebencian, melakukan pelecehan seksual, hingga penipuan melalui media sosial yang tentu menimbulkan kerugian pada pengguna medsos lainnya.

Maraknya pelanggaran-pelanggaran tersebut kemudian dijadikan salah satu dasar disahkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh Pemerintah. Nah untuk mendukung pelaksanaan UU ITE, Kepolisian RI pada 24 Februari lalu baru saja resmi menjalankan program polisi virtual atau virtual police yang akan melakukan patroli secara daring lho. Untuk mengetahui apa itu polisi virtual dan bagaimana cara kerjanya, Kontrak Hukum akan menjawabnya dibawah ini.

Apa itu Polisi Virtual atau Virtual Police?

Polisi Virtual atau Virtual Police merupakan unit satuan di bawah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian RI yang akan melaksanakan tugasnya dengan cara berpatroli secara siber di media sosial. Patroli secara siber yang dimaksud adalah mengawasi konten-konten yang dibuat dan diunggah oleh warganet Indonesia di media sosial miliknya. Bukan hanya memonitor konten para warganet, polisi virtual juga memiliki tugas serta wewenang untuk melakukan edukasi kepada masyarakat Indonesia khususnya warganet mengenai batasan-batasan dalam beretika di internet hingga memberikan peringatan kepada warganet yang dianggap melewati batas dalam penggunaan media sosial. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.

Operasi yang dilakukan oleh polisi virtual diatur secara khusus dalam Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Dalam surat edaran tersebut, polisi virtual memiliki kewajiban untuk mengedepankan upaya preemtif dan
preventif ketika melaksanakan tugasnya. Penyidik juga harus berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara ini, terkecuali untuk perkara yang bersifat dan berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, serta separatisme.

Seperti unit kesatuan dalam Kepolisian pada umumnya, polisi virtual juga memiliki penyidik didalamnya dan karena patroli dilakukan pada dunia maya, penyidik dalam polisi virtual akan melibatkan ahli ketika melakukan kajian terhadap konten warganet. Ahli yang dimaksud diantaranya ahli bahasa, ahli pidana, hingga ahli ITE. Pelibatan para ahli diharapkan akan membuat penilaian terhadap konten bersifat objektif dan penyidik dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoax, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana sehingga penyidik mengetahui langkah yang harus diambil selanjutnya.

Selain melakukan patroli secara siber, polisi virtual juga terbuka dan menerima laporan dari masyarakat langsung. Ketika polisi virtual melakukan patroli dalam dunia maya dan menemukan atau mendapatkan pengaduan dari masyarakat atas konten yang berpotensi pada pelanggaran pidana dan menimbulkan konsekuensi hukum, polisi virtual akan mengambil langkah, diantaranya:

  1. Melakukan diskusi dan konsultasi dengan para ahli untuk menilai apakah konten yang dibuat dan diunggah oleh warganet tersebut memiliki potensi unsur pidana atau tidak.
  2. Apabila dianggap memiliki potensi pidana, petugas akan mengajukan kepada Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri atau pejabat yang ditunjuk untuk memperoleh pengesahan.
  3. Petugas kemudian akan memberikan peringatan/virtual policealert melalui DM/direct message kepada pemilik akun medsos untuk menghapus unggahan miliknya dalam waktu 1×24 jam.
  4. Jika pemilik akun tidak melakukan penghapusan atas konten miliknya, petugas akan memberikan peringatan yang kedua.
  5. Apabila konten tetap tidak dihapus setelah peringatan kedua dilakukan, petugas akan melakukan penindakan.

Ketika pelanggaran dalam dunia maya kemudian memberikan kerugian secara langsung kepada korban, dalam SE No. No. SE/2/11/2021, penyidik diharuskan berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak boleh diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi. Jika korban tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka polisi tidak akan melakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU, petugas akan memberikan ruang untuk mediasi kembali. Selanjutnya, penyidik juga diharapkan berkoordinasi dengan JPU dan memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.

Adanya polisi virtual untuk mengawasi dunia maya tentu menimbulkan pro dan kontra. Sebagian masyarakat merasa bahwa saat ini konten dalam media sosial memang kerap kali melewati batasan sehingga pengawasan perlu dilakukan dan dengan adanya polisi virtual warganet diharapkan dapat lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial.

Namun, sebagian masyarakat juga merasa bahwa tugas yang dilakukan oleh polisi virtual terlalu masuk kedalam ruang privat warga negara. Masyarakat cemas bahwa polisi virtual hanya akan membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara. Jika melihat cara kerja polisi virtual di negara lain, dalam kasus tertentu polisi virtual memang berpotensi menjadi pengekang kemerdekaan rakyat mengingat polisi virtual justru mengatur apa saja yang boleh disuarakan dan yang tidak.

Untuk menjawab kecemasan ini, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Slamet Uliandi mengatakan bahwa virtual police tidak bertugas menangkap pihak-pihak yang mengkritik pemerintah. Selain itu, virtual police tidak akan melakukan tindakan ilegal seperti menghack media sosial milik warga negara ketika melakukan tugasnya. Sehingga warga negara tetap memiliki hak untuk bebas berekspresi, berpendapat, maupun menyampaikan kritik terhadap pemerintah.

 

Kontak KH

Nah Sobat KH, itulah penjelasan mengenai virtual police di Indonesia serta cara kerjanya. Untuk Sobat KH yang saat ini menjadi pengguna aktif media sosial, mari lebih bijak menggunakan media sosial karena ada virtual police yang akan berpatroli mengawasi konten yang Sobat KH unggah. Apabila Sobat KH memiliki pertanyaan mengenai virtual police atau ingin berkonsultasi terkait masalah hukum lainnya, jangan ragu untuk hubungi Kontrak Hukum di link Tanya KH ya!

 

Mariska

Resident legal marketer and blog writer, passionate about helping SME to grow and contribute to the greater economy.