Skip to main content

Salah satu pelopor teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yakni OpenAI, gagal mendaftarkan merek dagang platform andalan mereka yang bergerak di bidang Generative Pre-Trained (GPT) alias ChatGPT.

Seperti diketahui, 2022 lalu OpenAI meluncurkan ChatGPT yang begitu populer dan langsung memancing para pesaingnya memulai perlombaan teknologi berbasis kecerdasan buatan tersebut.

Merujuk namepepper.com, ChatGPT berhasil menjadi platform digital yang paling populer mencapai lebih dari 18 juta pengguna per Februari 2024.

Kepopuleran ChatGPT telah membuat sejumlah perusahaan lain mengadopsi teknologi serupa dengan beberapa penambahan fitur lain sebagai pembeda. Tak hanya mengadopsi teknologinya, para pesaing OpenAI juga memberikan nama-nama yang mirip dengan ChatGPT seperti misalnya GPTZero.

Sadar kepopuleran produknya akan dikuntit banyak pesaing, OpenAI berusaha mencegah bisnis lain menggunakan akronim GPT dengan berusaha mendaftarkannya sebagai merek dagang.

Sayangnya, pengajuan pendaftaran tersebut ditolak oleh Kantor Paten dan Merek Dagang Amerika Serikat (PTO). Kok bisa, apa alasannya?

Alasan Penolakan Pendaftaran Merek ChatGPT

Seperti diketahui, OpenAI bisa dibilang yang mempopulerkan kata GPT di industri AI, termasuk ChatGPT yang membawa nama mereka melambung. Dimana itu adalah chatbot AI yang menggunakan model bahasa besar yang milik mereka yakni GPT 3.

Namun diketahui, Patent and Trademark Office (PTO) menolak pengajuan merek dagang dari OpenAI untuk kata GPT. Pihak PTO menilai bahwa GPT adalah istilah umum yang bisa dipakai oleh siapa saja.

OpenAI sendiri berargumen bahwa dalam penerapannya kata GPT bukanlah kata deskriptif. GPT diklaim bukan istilah umum, di mana konsumen akan langsung memahami bahwa itu adalah salah satu produk dari OpenAI.

Sayangnya, argumen tersebut ditolak mentah-mentah. Bagi PTO perusahaan lain yang memakai nama GPT di produknya adalah sah-sah saja secara hukum.

GPT adalah salah satu bentuk kecerdasan buatan yang cara kerjanya memakai format percakapan. Argumen tersebut menjadi dasar bagi PTO untuk menolak permohonan merek dagang dari OpenAI.

Sebab, GPT adalah kata yang menjelaskan tentang teknologi tersebut, bukan sebuah merek eksklusif dari satu perusahaan saja. “Transformator Terlatih Generatif, umumnya dikenal sebagai GPT. Ini adalah keluarga jaringan saraf model yang menggunakan arsitektur transformator dan merupakan kemajuan penting dalam kecerdasan buatan (AI),” tulis PTO, dikutip Hypeabis.id, Senin (19/2/2024).

Pihak PTO menolak segala petisi OpenAI untuk mencegah perusahaan menghambat persaingan dalam industrinya. Keputusan ini juga akan mencegah pihak tertentu mengajukan tuntutan hukum dalam hal pelanggaran merek.

Sebab, siapa pun memang bisa menggunakan akronim GPT tanpa terbatas oleh suatu hal. Meskipun mungkin ada orang yang tidak mengetahui kepanjangan GPT, tetap saja tak menghapus fakta bahwa akronim tersebut memang merujuk pada hal deskriptif yang umum.

Diketahui ini bukan kali pertama PTO menolak pendaftaran merek dagang ChatGPT dari OpenAI. Perusahaan yang dikelola oleh Sam Altman itu juga pernah mengajukan permohonan serua ada Mei 2023 lalu dengan hasil yang sama, yakni penolakan.

BACA JUGA: Raffi Ahmad Gercep Daftarkan Nama ‘Cipung’ Jadi Merek Dagang

Itu artinya, ini adalah penolakan kedua dari PTO dan OpenAI akan punya kesempatan sekali lagi untuk mengajukan banding ke Dewan Pengadilan dan Banding Merek Dagang terkait permohonan tersebut.

Bagaimana Kaitannya dengan Pendaftaran Merek Dagang di Indonesia?

Sebuah merek harus didaftarkan sebagai bukti kepemilikan yang sah dan untuk mencegah orang lain menggunakan yang sama. Di Indonesia, pendaftaran merek dapat dilakukan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM.

Adapun ketentuan mengenai merek di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Menurut undang-undang ini, sebuah merek tidak dapat didaftarkan jika:

  • bertentangan dengan ideologi negara,peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
  • sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;
  • memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
  • memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;
  • tidak memiliki daya pembeda; dan
  • merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum.

Selain itu, UU Nomor 20 Tahun 2016 juga menyebut sejumlah penyebab permohonan pendaftaran merek ditolak. Adapun pendaftaran merek ditolak jika:

  • mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain atau yang dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  • mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
  • mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu;
  • mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang telah terdaftar;
  • merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
  • merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; atau
  • merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

Sama seperti yang dialami OpenAI dalam upaya pendaftaran merek ChatGPT, istilah GPT dianggap sebagai deskriptif dan umum digunakan dalam industri AI. Inilah yang membuat tidak bisa didaftarkan karena merek harus mampu membedakan produk atau jasa dari pesaingnya.

Hal ini menunjukkan bahwa untuk berhasil mendaftarkan merek, pemohon harus memiliki keunikan yang cukup kuat, tidak hanya dalam istilah merek itu sendiri, tetapi juga dalam produk atau layanan yang diwakilinya.

Selain itu, penting untuk mempertimbangkan keberadaan merek serupa yang sudah ada dan memastikan bahwa merek yang diajukan tidak melanggar hak-hak pihak lain.

Kontak KH

Demikian penjelasan mengenai merek ChatGPT milik OpenAI dan kaitannya dengan pendaftaran merek di Indonesia. Adanya contoh tersebut dapat membuktikan bahwa suatu merek sangat penting bagi keberjalanan suatu bisnis atau perusahaan.

Merek sendiri digunakan sebagai tanda untuk membedakan produk yang dihasilkan oleh seseorang atau suatu badan hukum dengan produk yang dihasilkan pihak lain.

Nah, untuk menghindari penolakan, jangan lupa untuk melakukan analisa merek terlebih dahulu sebelum melakukan pendaftaran.

Masih kesulitan untuk melakukannya? Kontrak Hukum siap membantumu. Kami menyediakan layanan analisa merek yang dilakukan dengan membandingkan merek yang ingin didaftarkan dengan data-data merek terdaftaran yang ada dalam Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI).

BACA JUGA: Membuat Merek Dagang, Apa Saja Hal Yang Perlu Diperhatikan?

Merek tersebut dianalisa dengan memperhatikan kemiripan unsur dan juga apakah merek tersebut telah terdaftar atau belum. Dengan begitu, kamu bisa menghemat kerugian biaya dan waktu apabila merek yang dimiliki ternyata tidak dapat didaftarkan.

Selain analisa merek, Kontrak Hukum juga menyediakan layanan pendaftaran merek hanya dengan biaya mulai dari Rp2 jutaan!

Tunggu apalagi? Yuk, lindungi hak atas merekmu secara aman dan mudah bersama kami dengan kunjungi laman Layanan KH – Merek. Jika masih memiliki pertanyaan, silakan konsultasikan di Tanya KH ataupun melalui direct message (DM) ke Instagram @Kontrakhukum.

Mariska

Resident legal marketer and blog writer, passionate about helping SME to grow and contribute to the greater economy.